Selamat Datang Di Blog My Memory Gazette! Keep Reading Enjoy and Be Fun Guys!

Kamis, 15 Januari 2015

TULUS - Sewindu

Sudah sewindu ku di dekatmu 
Ada di setiap pagi, di sepanjang hari 
Tak mungkin bila engkau tak tahu 
Bila ku menyimpan rasa yang ku benam sejak lama

Setiap pagi ku menunggu di depan pintu

Siapkan senyum terbaikku agar cerah harimu 
Cukup bagiku melihatmu tersenyum manis 
Di setiap pagimu, siangmu, malammu

Sesaat dia datang pesona bagai pangeran 

Dan beri kau harapan bualan cinta di masa depan
Dan kau lupakan aku semua usahaku 
Semua pagi kita, semua malam kita

Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu 

Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu

Setiap pagi ku menunggu di depan pintu 

Siapkan senyum terbaikku agar cerah harimu 
Cukup bagiku melihatmu tersenyum manis 
Di setiap pagimu, siangmu, malammu

Sesaat dia datang pesona bagai pangeran

Dan beri kau harapan bualan cinta di masa depan 
Dan kau lupakan aku semua usahaku 
Semua pagi kita, semua malam kita

Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu 

Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu 
Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu 
Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu
 

Jujur memang sakit di hati
Bila kini nyatanya kau memilih dia 
Takkan lagi ku sebodoh ini 
Larut di dalam angan-angan tanpa tujuan

Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu 

Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu 
Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu
 Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu

TULUS - Jangan Cintai Aku Apa Adanya

Tak sulit mendapakanmu 
Karna sejak lama kaupun mengincarku
Tak perlu lama-lama
Tak perlu banyak tenaga
Ini terasa mudahh.. 
Kau terima semua kurangku
Kau tak pernah marah bila ku salah 
Kau selalu memuji apapun hasil tanganku 
Yang tidak jarang payah
Jangan cintai akuapa adanya 
jangaaaaan
tuntutlah sesuatu
 biar kita jalan kedepana
ku dimana jadi petamu
aku ingin jadi jagoanmu (2x)

Four Hearts, Two Loves





          “Ari… Sebenarnya… Aku… Aku suka sama kamu,”

          “Hahaha… Bercanda aja ih, kamu sukanya.”

          “Aku enggak bercanda, Ari. Ini serius!”

          “Apa yang bisa membuat aku percaya kalo kamu sayang aku?”

          “Lihat saja kehatiku,”

          “Hahaha… Mana mungkin aku melakukan hal bodoh itu demi membuktikan hal yang tak mungkin itu?”

          “Kamu bodoh, Ari!”




         

Namaku Ari. Seorang pelajar tingkat SMA yang belum mengerti apa itu cinta yang sebenarnya. Termasuk, untuk semua mantan kekasihku. Jujur, selama kita berhubungan, aku belum bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang terus menerus memutari otakku. Yaitu, “Apa itu cinta yang sesungguhnya.”

          Sampai pada akhirnya, tepat sebulan sebelum aku menginjak umur 17 tahun, Tuhan akhirnya menjawab pertanyaanku itu melalui perantara sebuah kisah yang mengharukan. Sebuah kisah yang membuat aku mengerti, bahwa aku harus menghargai cinta. Bahwa aku harus menghargai seorang wanita. Bahwa aku harus menghargai cinta sesesorang yang telah dia berikan dengan tulus untukku.

          Jadi, inilah kisahku itu…


         

          Aku menyukai beberapa orang pada satu waktu bersamaan. Dan, dari beberapa orang itu, aku belum bisa memastikan siapa orang yang benar-benar aku sayangi. Namun, ada seseorang wanita yang membuat hatiku tertarik. Dia adalah seorang wanita baik. Dia tak pernah membuat aku kecewa ataupun sedih. Dia adik kelasku. Dan, dia adalah teman dekatku. Sebelum aku menyayanginya, aku sudah berteman dekat dengannya. Sudah tau betul kepribadiannya. Hal yang ia sukai dan hal yang ia tak sukai. Elia, namanya.

          Sebetulnya, aku ragu jika dalam hal ‘mengungkapkan rasa sayangku padanya’, karena aku tau, dia pasti menganggap ini cuman main-main dan menghiraukan rasa ini begitu saja. Tapi, aku tak pantang menyerah. Masih ada harapan dia mau menerimaku. Karena, dia tak pernah berkata bahwa dia membenciku.

          Beberapa hari berlalu, dan aku masih tetap menyayanginya. Bahkan, aku menjadi semakin menyayanginya. Beberapa hari sejak awal aku menyukainya pun, aku mengubah image–ku saat aku mengetahui dia berada disekitarku. Agar lambat laun, dia akan menyukaiku pula seiring perubahan sikapku padanya –lebih mengarah ke stay cool.

          Suatu hari, tepat saat aku akan mengungkapkan rasa sayangku pada dia, aku menerima kabar bahwa dia telah berpacaran dengan temanku sendiri, Ire. Awalnya, aku hanya menganggap ini sebuah gosip yang lebih mengarah pada sebuah lelucon. Namun, suatu hari aku menemui dia yang tengah merenung sendirian disudut sekolah ­–dengan wajah tampak berseri seperti memandang seseorang. Tanpa basa-basi pun, aku mendekatinya.

Namun, betapa terkejutnya aku…

Dia berkata lantang setelah melihat aku mendekatinya dengan mencoba menghindar dariku, “Kak, sepertinya kamu tidak perlu mendekatiku lagi. Karena, aku yakin pasti akan ada yang marah jika melihat kita sedekat ini.”

Dan, tanpa memberi salam ataupun sepatah kalimat perpisahan, aku meninggalkan dia dengan hati yang remuk berkeping-keping. Ingin rasanya aku menangis. Namun, jiwa laki-lakiku mengalir saat air mataku hampir saja keluar. Seolah, ia berkata bahwa, “Jangan menangis! Kau ini laki-laki! Tunjukkan padanya kalau kau ini tak lemah!” Berkat dorongan itu, akupun tak menangis –namun, jujur saja, hatiku ini masih tetap menangis.

Seminggu setelah itu, aku tau hubungan mereka semakin baik. Karena, setiap hari, sebelum mereka meninggalkan sekolah, mereka selalu duduk bersampingan sambil tertawa, riang dan gembira.

“Huh!” Aku cuman bisa mendesah melihat pemandangan yang sangat manis itu. Namun, entah mengapa aku tidak bisa mengubah rasa sayangku ini pada Elia.

Hingga suatu hari, aku ingin mengungkapkan rasa sayangku yang sudah lama aku pendam ini pada Elia. Dan dengan semangat yang membara, aku berjanji bahwa tak lama aku akan menghubungi Elia.

“Ting…”

Ada SMS masuk pada handphoneku. Segera, akupun mengambil handphone itu dan membaca apa isinya. Di layar LCD handphone-ku, tertulis jelas nama dia. Elia.

Mataku terbelalak kaget.

“Elia? Untuk apa dia SMS aku?”

Akupun membuka isinya dan tertulis jelas bahwa ia mengirimkan SMS sebuah sapaan, “Kak?”

Akupun membalasnya, “Iya?”

Dan dengan jurus basa-basiku, kami akhirnya terus asyik berkomunikasi ini dan itu. Saling berbagi cerita dan saling memberi saran, satu sama lain. Hingga beberapa menit kamu ber-SMS-an, akupun mengutarakan maksud sebenarnya aku SMS dia.

“Emm… Bagaimana hubungan kamu dengan Ire? Semoga langgeng terus, ya?”

“Iya, kak… Terimakasih doanya,”

“Iya, sama-sama. Sayang kamu sama dia?”

“Sayang? Tentulah, kak. Namanya juga pacar. Kalo aku boleh jujur, aku sebenarnya juga sayang sama kakak, kok. Hehe.”

          “Kamu? Sayang sama aku? Tapi, kamu lebih sayang sama Ire, kan?”

“Tentu,”

“Emm… Kalo boleh aku jujur, aku sebenarnya juga sayang sama kamu, El. Tapi… Sayangnya bukan sekedar teman. Lebih dari teman…”

          “Lebih, kak?? Maksudnya??”

          “Iya. Udah lama, sih, aku pendam rasa sayangku ini. Tapi, aku sadar, sayangmu ke aku jauh berbeda sama sayang kamu ke Ire.”

          “Tapi, kak… Apa sih yang buat kakak suka aku? Aku kan gak cantik, gak pinter, gak perfect bahkan, aku jauh dari wanita sempurna…”

          “Emang ada sih didunia ini, cewek yang 100% sempurna? Gak kan?”

          “Aku bingung mau bicara apa lagi, kak. Yang jelas, aku ingin minta maaf kepada kakak kalo selama ini aku nyakitin hati kakak, secara enggak sengaja. Aku baru sadar, selama ini kakak selalu nyuekin aku setelah kakak tau aku pacaran sama dia! Aku benci itu, kak! Aku ingin kita seperti dulu lagi. Ketawa, seneng, sedih tangis bareng…Nggak seperti ini! Dimana kakak yang dulu?”

          “Aku bukannya nyuekin kamu. Tapi, aku jaga jarak aja. Aku enggak mau dia cemburu karena aku terlalu over kekamu. Dan satu hal lagi, kamu enggak perlu minta maaf… Ini semua salahku. Disaat aku jatuh cinta kamu diam-diam, aku harus terima resikonya yaitu sakit hati dan terluka perlahan-lahan. Ingat, ini salahku bukan salahmu!”

          Begitulah caraku mengungkapkan rasa sayangku ke Elia. Dan untuk selanjutnya, hubungan kita semakin berangsur membaik. Aku mulai kembali menyapa, memberi salam dan berbagi cerita dengan dia.

          Beberapa hari kemudian, aku menceritakan hal ini pada salah satu temanku, Enin. Enin adalah orang yang dapat aku percaya. Dia selalu saja memiliki hal menarik jika kami berada dalam satu lingkup. Membuat aku dan teman-temanku tertawa. Itulah Enin, anak sebayaku yang humoris tapi kritis jika menanggapi masalah.

          Namun, reaksi Enin begitu mengecewakan. Beberapa hari setelahnya, ia seperti menjauhiku, entah mengapa. Dan tepat 4 hari ia menjahuiku, aku menanyakan masalah ini.

          “Enin?”

          “Iya?”

          “Kamu kenapa sih, Nin, akhir-akhir ini aku lihat kamu seperti menjauh dariku gitu.”

          “Siapa yang jauhin kamu? Enggak kok…”

          “Beneran? Trus kenapa tadi aku mau deketin kamu, kamu malah minggir? Bukan cuma hari itu doang, setiap hari kamu kayak gitu ke aku. Kenapa? Ada masalah apa sih sebenarnya? Aku bingung sendiri tau nggak…”

          “Nggak ada masalah apa-apa, kok. Ini masih Enin yang dulu kok, nggak berubah dan enggak berbeda…”

          “Tapi beda dimataku! Jujur, kenapa kamu jauhin aku?”

          “Aku enggak jauhin kamu, Ri!”

          “JUJUR!!!”

          “Oke oke! Kamu masih ingat apa yang pernah aku bilang kekamu saat kita pulang sekolah bersama, beberapa bulan yang lalu?”

          “Tentang kamu punya pacar dan putus dengan pacarmu dan kamu punya pacar kedua?”

          “Bukan! Kamu benar enggak ingat?”

          “Emm…”

          “Kamu terlalu gampang melupakan sesuatu yang sulit dilupakan, ya?”

          “Eh, tunggu tunggu! Aku… Aku… Oh iya, yang itukah?”

          “Yang mana? Oh, kamu baru ingat?”

          “Emm… Kamu suka aku dan…”

          “Dan apa? Dan kamu tau? AKU MASIH SUKA SAMA KAMU! Dan kamu ingat saat kamu menceritakan bahwa kamu sayang sama Elia? Dan kamu tau bagaimana sakitnya hatiku saat itu? Dan dengan bodohnya kamu tertawa di tengah tangisku? Iya???”

          “Enin…”

          “Cukup! Sekarang aku tau bagaimana kamu tidak memiliki secarik sayang pun kepadaku!”

          “Karena aku sayang kepadamu sebagai seorang sahabat! Aku rasa itu sudah cukup…”






          Beberapa minggu berlalu, dan Enin masih saja marah padaku. Malah, semakin buruk daripada yang lalu. Ia terus menjauh… Menjauh… Dan menjauh. Hingga, tepat 3 minggu ia menjauhiku, aku ingin mengakhiri semua ini.

Aku menghampirinya yang tengah merenung disudut sekolah. Dan seperti biasanya, Enin pergi meninggalkanku. Tapi, dengan cepat aku menarik lengannya agar ia tak bisa meninggalkanku.

          “Enin, tunggu!” Kataku menarik lengan Enin.

          “Huh,” Enin mendesah, “Apa yang kau mau?”

          “Kepastian,”

          Enin berbalik dan menatapku tajam.

          “Tak perlu, Ri. Aku sudah cukup tau!” Katanya lalu berbalik arah lagi dan berjalan menjauhiku.

          “Enin! Aku tau kamu sakit hati! Tapi, cobalah mengerti, Nin! Aku juga sedang sakit hati disini! Maaf kalo aku belum bisa membalas sayangmu padaku,”

          Enin seketika itu berhenti berjalan dengan diam tertunduk. Akupun mendekatinya lalu memegang lembut telapak tangannya. “Enin, tolong jangan buat aku tertekan dengan semua keadaan ini,”

          “Tertekan?”

          Pertanyaan itu yang terakhir ia ucapkan sebelum ia berlari menjauhiku. Aku cuman bisa membisu tanpa berkata-kata lagi. Aku tak tau cara apalagi yang harus aku lakukan demi membuat dia seperti dulu lagi padaku. Jujur.

          14 hari berlalu. Dan, tepat seminggu sebelum aku berulang tahun, Enin akhirnya memilih untuk mengakhiri semua pertentangan ini. Dia mendekatiku yang tengah merenung disudut sekolah.

          “Emm… Hai, Ari!” sapanya dengan ekspresi yang memaksakan senyum.

          “Oh, hai, Enin.” Aku membalas senyum tipis itu.

          Enin membalikkan posisinya kedepan. Membiarkan aku dan Enin berdiri berdampingan. Yang dengan kata lain, tak saling pandang. Jujur, waktu itu aku belum tau jika Enin akan mengakhiri pertentangan antara kita selama ini. Karena, setelah ia menyapaku, ia diam membisu. Tanpa menatapku pula. Bingung, bukan?

          “Bagaimana kabarmu, Nin?”

          Enin malah tertawa. Tapi, bukan tertawa terbahak-bahak. Hanya tertawa yang ditahan –aku tau itu. “Kau ini, seperti tidak pernah bertemu aku saja.”

          Aku tersenyum kikuk. Tak tau harus berbuat apalagi. Aku dijebak oleh pertanyaan tololku sendiri tadi. Hufft. “Tampaknya, kau baik-baik saja.” Kataku sok cool.

          Enin tersenyum. “Aku ini… Seperti kekanak-kanakan, ya?”

          Aku mengalihkan pandangan ke Enin. “Maksudmu?”

          Enin juga mengalihkan pandang kearahku. Ia menatap lekat-lekat kedua mataku. “Aku… Bingung, Ri, gimana bilangnya… Yang jelas_

          Aku mendekatinya. Lalu, kuraih lembut telapak tangannya. “Nin… Aku tau ini gila. Tapi… Aku sayang kamu…”

          Enin menarik telapak tangannya yang tadi kuraih. Matanya terbelalak kaget tak percaya. Ia terlalu syock mendengar ini. Apa, aku yang terlalu cepat mengungkapkan perasaanku yang datang tiba-tiba ini?

          “Aku rasa, ternyata aku juga menyayangimu. Rasa ini muncul tiba-tiba dan sempat tak kumengerti. Ini… terlalu cepat, ya?” lanjutku.

          Enin tertunduk. Ia kembali memutar posisinya sehingga kami tak dapat saling pandang.

          “Aku…Tak bisa, Ri!” jawabnya singkat.

          Aku kaget. Hatiku remuk. Kembali aku merasakan sakit hati untuk yang kedua kalinya. Tapi, tunggu, Enin menolakku? Bukankah ia juga menyayangiku? Apa… Aku terlambat mengungkapkan ini semua? Yang dalam arti lain, Enin sudah menemukan penggantiku di hatinya? Secepat itukah???

          “Aku…” Ia berhenti sejenak, lalu memandangiku lagi dengan mata yang berkaca-kaca, “Menyukai orang lain!” lanjutnya.

Haha! Dugaanku benar sekali! Tak meleset sedikitpun!

“Kau terlambat, Ri! Dia lebih menyayangiku daripada rasa sayangmu! Dan, lagipula, aku datang kesini untuk mengakhiri masalah kita.” Dia menepuk pundakku. “Maafin aku, ya? Ri?”

          Kulepaskan telapak tangannya dari pundakku. Dan dengan cepat, dengan membawa setumpuk kepingan hati yang telah pecah, aku meninggalkan Enin. Tanpa menerima maaf darinya.

Karena… hatiku terlalu hancur!






          Malam harinya, ditemani beribu bintang yang menghiasi langit malam, aku melamun di teras rumah. Dengan terus membayangkan perjalanan cintaku yang berliku-liku dan terlalu sakit ini.

          “Aku bodoh! Aku bodoh menyia-nyiakan semuanya! Tuhan, tolong kembalikan aku ke masa lampau. Disaat, aku belum terlambat menyia-nyiakan cinta mereka…” pintaku memandangi langit malam.

          “Ting…”

          Handphone-ku berbunyi. Ada SMS masuk dari seseorang. Itu SMS dari… Ire. Dengan cepat, kubuka apa isinya.

          “Hei! Maksud lo apaan, he? Kenapa lo merebut pacar gue, dasar laki-laki bodoh!” pesan Ire yang dia kirimkan.

          Apa yang dia maksudkan? “Tunggu, tunggu, kamu bicara apa, sih, Re?”

          “Alaaah… Jangan sok enggak tau dan sok bodoh, deh! Lo tanya-tanya apa sama dia? Dan ada hubungan sedekat apa lo sama dia? He?”

          “Elia, maksudmu?”

          “Menurut lo??!”

          “Ya, gue tanya biasa aja. Gak yang berlebihan, kok.”

          “Trus kenapa tadi Elia bilang kamu tanya aku sayang sama dia apa enggak? Sok perhatian banget sih lo, dasar bajingan!”

          “Hei, sabar, dong! Lo belum liat penjelasan gue! Elia enggak sebodoh yang lo kira, ya? Dia sayang sama lo! Gue cuman ngetes aja seberapa besar sayangnya pada lo! Dan sayangnya ternyata lebih dari yang kukira,”

          “Kamu suka kan sama Elia?! Elia bilang sendiri tau nggak!?”

          “Lo percaya gitu aja? Jangan sensitif gitu sama pacar, kalo lo mau hubungan kalian tetep harmonis dan enggak cepet ancur!”

          “Terserah!!!”

          “Sorry, kalo aku buat lo cemburu! Tapi, gue enggak pernah SMS dia kalo ada hal sangat penting doang! Inget itu!”

          “Y.”

          Kubanting handphone-ku hingga baterai dan badan handphone terpisah. “Arrgghhhh!!! Banyak banget sih, masalah gue! Mati aja gimana? Udah sakit malah ditambah sakit lagi!!! Pffft.”






          Hari berikutnya, Ire marah kepadaku. Ia memandangku jijik saat aku berlalu lalang didepannya. Sepertinya, ia memang tipikal orang yang terlalu sensitif sama pacar. Kecemburuannya melampaui batas normal.

          Pulang sekolah, aku melihat Elia tengah menangis histeris disudut kantin. Niar duduk disampingnya dan mencoba menenangkannya. Karena penasaran, aku mendekatinya.

          “Dia kenapa?” tanyaku pada Niar.

          Dengan sedikit berbisik, Niar berkata, “Diputusin pacar!”

          Sontak, aku kaget. Ire mutusin Elia cuman gara-gara masalah sepele kayak gitu? Bodoh banget sih, Ire!

          “Eh, lo mending nyari minum dulu buat Elia. Biar gue coba nenangin dia,” pintahku pada Niar. Dan dengan cepat, ia menuruti perkataanku.

          Kini tinggal aku dan Elia. Akupun duduk disamping Elia. Dan dengan cepat, aku membiarkan ia menangis dalam pelukanku. Kuusap rambutnya agar ia merasa lebih hangat.

          “El, udah deh, udah… Lo jangan nangisin dia terus. Laki-laki yang enggak se-banjingan dia kan ada. Udah, ya? El…” kataku menenangkan dia. Namun, itu tak merubah apa-apa. Ia tetap menangis.

          Di sudut kantin, aku melihat Enin tengah mengintip aku dan Elia. Dia sempat kaget juga. Lalu, karena dia merasa aku telah mengetahui keberadaan dia, dia berjalan pasrah sambil tertunduk.

          Sempat kaget, memang… Tapi, melihat kondisi Elia saat ini, konsentrasiku cepat kembali pada Elia.

          “Ini minumnya, kak,” Niar yang tadi, datang kembali dengan membawa segelas teh hangat. Ia menaruh teh itu pada meja didepan kami.

          “Oke,” Kuambil teh hangat itu. Lalu, dengan cepat aku tawarkan pada Elia. Namun, Elia menggelengkan kepala tanda tak mau. Ia terus saja menangis.

          “Eh, lo bisa bantu gue lagi, enggak? Tolong undang orang yang udah nyakitin dia, dong! Masalah ini enggak bakal selesai kalo gini caranya.” Suruhku lagi. Niar pun mau melaksanakan tugas dadakan ini.

Kuusap halus rambut Elia lagi. “El, Ire kenapa, sih? Ceritain, dong! Biar bisa lebih tenang,” Aku mencoba mencari cara agar ia dapat tenang lagi. Setidaknya tak menangis seperti ini. Hatiku terlalu rapuh melihat hal ini.

“El, tatap gue! Tatap mata gue!!!” Kataku memegang pipinya sambil berusaha agar ia dapat menatap mataku.

Dengan mata yang penuh air mata, Elia dengan paksa menatapku.

“Li… Gue tau… Ini semua salah gue, kan?”

“Enggak, kak! Ini bukan salah kakak!!!” Elia berteriak histeris.

“Elia, tenang, Li… Tenang…”

“Enggak bisa, kak… Enggak bisa…” Elia kembali menangis dalam pelukanku. Aku terus berusaha memenangkannya.

Kucium kening Elia dengan lembut. Setidaknya, cuman itu saja yang bisa membuktikan bahwa aku sayang sama Elia. Dan setidaknya, ia bisa lebih tenang.






Ire P.O.V

“Udah, kan? Gimana sekarang? Dia masih sayang sama aku?” Aku berjalan menjauhi Niar yang masih bengong melihat pemandangan menjijikan tadi.

Ari mencium Elia? Itu tandanya ia tak sayang sama Elia? Laki-laki bodoh!

Niar sempat memanggilku dan mencoba mengajakku kesana lagi.

“Buat apa, Ni? Apa aku perlu liat mereka yang lebih dari itu? Ciuman bibir, iya!?” bentakku pada Niar yang gemetar ketakutan.

“Lo laki-laki yang lebih dari sampah si pengecut, tau nggak, Re!”

Niar berlari menjahuiku setelah ia mengatakan hal yang tak kumengerti itu. Mataku menerawang sekitar. Mencari hal yang bisa kubuat mainan dan menenangkanku. Dan… Eits! Mataku menangkap bayangan seorang gadis yang tengah menangis histeris. Itu… Enin. Ya, Enin! Dengan cepat, kuhampiri dia dengan wajah yang simpati.

“Nin? Kamu kenapa Nin?” kataku duduk disampingnya.

Tiba-tiba saja, Enin memeluk erat tubuhku tanpa menjawab pertanyaanku. Hatiku bergetar atas semua hal ini. Bahkan, Elia tak pernah sekalipun memelukku, batinku.

“Nin…” Aku mengusap halus rambutnya. Mencoba menenangkannya. Dan setelah beberapa detik aku mengusap rambutnya, Enin menatap mataku lekat-lekat.

“Ir… Ire?” katanya kaget dengan posisi kami yang masih berpelukan.

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Dengat tergesa-gesa, ia melepas pelukan kami, membenarkan posisinya, dan menghapus air matanya. Aku sempat geli dengan tingkahnya.

“Haha…Kamu kenapa kok nangis?” tanyaku.

“Enggak kok… Siapa yang nangis?”

“Iya deh iya, kamu enggak nangis. Eh, tadi pelukanmu erat banget, lho.”

Enin malah memukul pundakku. Wajahnya merah padam. Kali ini, aku tak bisa menahan geli. Aku pun tertawa terbaha-bahak. Dan setelah itu, kami terus bercanda, berbagi cerita dan saran satu sama lain.






Back to Ari P.O.V

Elia sedikit lebih tenang. Ia menatap mataku lekat-lekat saat aku telah mencium keningnya. Matanya menatap manja dan tak percaya. Lalu, dengan cepat, ia memeluk erat tubuhku. Dan berkata, “Makasih kak,”

Hatiku bergetar. Aku benar-benar merasakan momen indah ini. Momen yang tak ada duanya. Momen yang istimewa. Akupun mengusap rambutnya lembut. Membiarkan kami benar-benar merasakan kehangatan. Hingga, dia melepas pelukan ini dan kami saling berhadapan.

Matanya benar-benar sendu karena tangis. Air mata juga masih menghiasi pelupuk dan sekitar pipinya. Karenanya, kuhapus air mata yang menempel dipipinya itu dengan jari-jariku. Ia tersenyum, akupun juga.

“Makasih ya, kak? Sudah ada saat aku sangat  memerlukan belaian kasih sayang. Ini lebih dari indah, kak.” katanya manja.

“Kamu tau kan, kalo aku menyayangimu? Bukankah wajar jika hal ini kulakukan?” jawabku singkat.

Ia malah tersenyum.

“Nah, gitu dong. Cantiknya kan keliatan kalo senyum gitu.” Kataku.






Beberapa hari setelah hari mengerikan itu terjadi, aku dan Elia menjadi lebih akrab dari sebelumnya. Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Namun, ia masih saja belum bisa melupakan Ire. Jujur, aku ingin dia menggantikan posisi Ire yang terus saja hidup dihatinya, denganku.

Kini, hari ulang tahunku tiba. Akupun merayakan memorial ini dirumahku. Seluruh teman sekelasku dan orang-orang tertentu kuajak untuk datang kepesta ini agar lebih meriah.

Setelah hal-hal yang direncanakan usai, waktu bersuka ria pun dimulai. Seluruh orang yang ada dipesta ini terserah mau melakukan apa saja diwaktu lenggang ini. Berdansa, bercerita, pacaran, sesuka hati mereka. Jika aku, lebih memilih untuk menyendiri ditemani beribu bintang dan Elia.

Saat kami sedang bersuka ria, mataku menangkap Enin dan Ire yang terus saja bersama. Bergandengan tangan pula. Aku sempat berpikir jika mereka berpacaran.

Tapi, masak Enin sejahat itu sama Elia? Elia kan bestfriend-nya dia. Setahuku, Enin tak sejahat itu hingga menusuk temannya sendiri dari belakang, batinku.

Dan keraguanku terjawab sudah. Samar-samar, aku mendengar Ire berkata kepada temannya, “Hei! Kenalin nih pacar baru gue, Eninda,”

Apa!? Sekarang ini apa Enin yang jahat atau dia memang sudah terkena virus ketampanan Ire sampe nusuk teman sendiri dari belakang?? Dan, Ire yang merebut Enin dariku? Aku sungguh tak mengerti jalan pikir Enin.

“Kak?? Kakak!!!”

“Ah! Iya?” Aku tersadar dari lamuan berkat dorongan Elia.

“Kakak daritadi ngeliatin apa, sih?”

Elia mengalihkan pandang kearah yang aku lihat tadi. Tepatnya, kearah Ire dan Enin berpacaran. Dan dengan cepat, dengan mata yang tak percaya, ia kembali menatapku.

“Mereka… mereka…”

“Iya… Mereka pacaran.” Jawabku, “Maaf, El. Untuk kali ini, aku nggak bisa buat apa-apa lagi,”

Ia menangis sambil menundukkan muka. Aku tau hatinya pasti remuk berkeping-keping. Sesekali ia mengusap matanya yang terus keluar air mata.

“Elia?” Aku memegang telapak tangannya. Sambil sesekali membuka poninya yang menutupi kedua matanya.

Ia menatapku tersenyum dengan pipinya yang masih mengalir air mata. “Aku enggak papa, kok, kak. Tenang aja,”

“Tenang-tenang, gimana!” Aku menghapus air mata yang menempel dipipinya itu dengan jari-jariku. Setelah semuanya telah hilang, kupegang lagi kedua telapak tengannya.

Aku mengambil napas persiapan, “Em… Elia?” Aku berhenti sejenak, “Kamu tau kan, aku menyanyangimu? Dan kurasa rasa sayangku kini menjadi lebih besar lagi.” Aku berhenti lagi mengambil napas, “Aku mau mengisi kekosongan hatimu dengan adanya diriku. Aku ingin sepenuhnya melindungimu. Aku nggak mau kamu terus-terusan disakiti begini. Jujur, sekarang aku mau lebih care padamu… Kamu… Mau nggak jadi pacarku?” kalimat utama pun berhasil kulontarkan dengan lancar.

Elia terdiam tak percaya. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya ia hampir menangis. Ia malah melepas telapak tangannya dari genggamanku. Aku menjadi tak mengerti.

“Kak…” Ia berhenti sejenak. Dari matanya, keluar air mata. “Bukannya aku tak mau. Tapi…” Ia kembali menggenggam telapak tanganku. “Hatiku sudah terisi oleh cinta Pradi. Kami… Sudah berpacaran, kak…”
Aku menarik telapak tanganku dari genggamannya. Lalu, kutundukkan muka. Untuk sekarang, aku tak bisa menahan air mata. Hatiku yang telah kususun lagi, yang telah menjadi hati yang baru, kini kembali diremuk oleh orang yang sama. Bahkan, lebih remuk dari sebelumnya. Aku terus tertunduk, dan berkata, “Aku… Terlambat lagi, ya?”

 (: TAMAT :)