Sudah sewindu ku di dekatmu
Ada di setiap pagi, di sepanjang hari
Tak mungkin bila engkau tak tahu
Bila ku menyimpan rasa yang ku benam sejak lama
Setiap pagi ku menunggu di depan pintu
Siapkan senyum terbaikku agar cerah harimu
Cukup bagiku melihatmu tersenyum manis
Di setiap pagimu, siangmu, malammu
Sesaat dia datang pesona bagai pangeran
Dan beri kau harapan bualan cinta di masa depan
Dan kau lupakan aku semua usahaku
Semua pagi kita, semua malam kita
Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu
Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu
Setiap pagi ku menunggu di depan pintu
Siapkan senyum terbaikku agar cerah harimu
Cukup bagiku melihatmu tersenyum manis
Di setiap pagimu, siangmu, malammu
Sesaat dia datang pesona bagai pangeran
Dan beri kau harapan bualan cinta di masa depan
Dan kau lupakan aku semua usahaku
Semua pagi kita, semua malam kita
Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu
Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu
Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu
Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu
Jujur memang sakit di hati
Bila kini nyatanya kau memilih dia
Takkan lagi ku sebodoh ini
Larut di dalam angan-angan tanpa tujuan
Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu
Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu
Oh tak akan lagi ku menemuimu di depan pintu
Dan tak ada lagi tutur manis ku merayumu
Kamis, 15 Januari 2015
TULUS - Jangan Cintai Aku Apa Adanya
Tak sulit mendapakanmu
Karna sejak lama kaupun mengincarku
Tak perlu lama-lama
Tak perlu banyak tenaga
Ini terasa mudahh..
Kau terima semua kurangku
Kau tak pernah marah bila ku salah
Kau selalu memuji apapun hasil tanganku
Yang tidak jarang payah
Jangan cintai akuapa adanya
jangaaaaan
tuntutlah sesuatu
biar kita jalan kedepana
ku dimana jadi petamu
aku ingin jadi jagoanmu (2x)
Karna sejak lama kaupun mengincarku
Tak perlu lama-lama
Tak perlu banyak tenaga
Ini terasa mudahh..
Kau terima semua kurangku
Kau tak pernah marah bila ku salah
Kau selalu memuji apapun hasil tanganku
Yang tidak jarang payah
Jangan cintai akuapa adanya
jangaaaaan
tuntutlah sesuatu
biar kita jalan kedepana
ku dimana jadi petamu
aku ingin jadi jagoanmu (2x)
Four Hearts, Two Loves
“Ari… Sebenarnya… Aku… Aku suka sama
kamu,”
“Hahaha… Bercanda aja ih, kamu sukanya.”
“Aku enggak bercanda, Ari. Ini serius!”
“Apa yang bisa membuat aku percaya
kalo kamu sayang aku?”
“Lihat saja kehatiku,”
“Hahaha… Mana mungkin aku melakukan
hal bodoh itu demi membuktikan hal yang tak mungkin itu?”
“Kamu bodoh, Ari!”
…
Namaku Ari. Seorang pelajar tingkat SMA
yang belum mengerti apa itu cinta yang sebenarnya. Termasuk, untuk semua mantan
kekasihku. Jujur, selama kita berhubungan, aku belum bisa mendapatkan jawaban
dari pertanyaan yang terus menerus memutari otakku. Yaitu, “Apa itu cinta yang sesungguhnya.”
Sampai pada akhirnya, tepat sebulan sebelum
aku menginjak umur 17 tahun, Tuhan akhirnya menjawab pertanyaanku itu melalui
perantara sebuah kisah yang mengharukan. Sebuah kisah yang membuat aku
mengerti, bahwa aku harus menghargai cinta. Bahwa aku harus menghargai seorang
wanita. Bahwa aku harus menghargai cinta sesesorang yang telah dia berikan
dengan tulus untukku.
Jadi, inilah kisahku itu…
…
Aku menyukai beberapa orang pada satu
waktu bersamaan. Dan, dari beberapa orang itu, aku belum bisa memastikan siapa
orang yang benar-benar aku sayangi. Namun, ada seseorang wanita yang membuat
hatiku tertarik. Dia adalah seorang wanita baik. Dia tak pernah membuat aku
kecewa ataupun sedih. Dia adik kelasku. Dan, dia adalah teman dekatku. Sebelum
aku menyayanginya, aku sudah berteman dekat dengannya. Sudah tau betul kepribadiannya.
Hal yang ia sukai dan hal yang ia tak sukai. Elia, namanya.
Sebetulnya, aku ragu jika dalam hal ‘mengungkapkan rasa sayangku padanya’,
karena aku tau, dia pasti menganggap ini cuman main-main dan menghiraukan rasa ini
begitu saja. Tapi, aku tak pantang menyerah. Masih ada harapan dia mau
menerimaku. Karena, dia tak pernah berkata bahwa dia membenciku.
Beberapa hari berlalu, dan aku masih
tetap menyayanginya. Bahkan, aku menjadi semakin menyayanginya. Beberapa hari sejak
awal aku menyukainya pun, aku mengubah image–ku
saat aku mengetahui dia berada disekitarku. Agar lambat laun, dia akan
menyukaiku pula seiring perubahan sikapku padanya –lebih mengarah ke stay cool.
Suatu hari, tepat saat aku akan
mengungkapkan rasa sayangku pada dia, aku menerima kabar bahwa dia telah
berpacaran dengan temanku sendiri, Ire. Awalnya, aku hanya menganggap ini
sebuah gosip yang lebih mengarah pada sebuah lelucon. Namun, suatu hari aku menemui
dia yang tengah merenung sendirian disudut sekolah –dengan wajah tampak
berseri seperti memandang seseorang. Tanpa basa-basi pun, aku mendekatinya.
Namun, betapa terkejutnya aku…
Dia berkata lantang setelah melihat aku
mendekatinya dengan mencoba menghindar dariku, “Kak, sepertinya kamu tidak
perlu mendekatiku lagi. Karena, aku yakin pasti akan ada yang marah jika
melihat kita sedekat ini.”
Dan, tanpa memberi salam ataupun sepatah
kalimat perpisahan, aku meninggalkan dia dengan hati yang remuk berkeping-keping.
Ingin rasanya aku menangis. Namun, jiwa laki-lakiku mengalir saat air mataku
hampir saja keluar. Seolah, ia berkata bahwa, “Jangan menangis! Kau ini laki-laki! Tunjukkan padanya kalau kau ini
tak lemah!” Berkat dorongan itu, akupun tak menangis –namun, jujur saja,
hatiku ini masih tetap menangis.
Seminggu setelah itu, aku tau hubungan
mereka semakin baik. Karena, setiap hari, sebelum mereka meninggalkan sekolah,
mereka selalu duduk bersampingan sambil tertawa, riang dan gembira.
“Huh!” Aku cuman bisa mendesah melihat
pemandangan yang sangat manis itu. Namun, entah mengapa aku tidak bisa mengubah
rasa sayangku ini pada Elia.
Hingga suatu hari, aku ingin
mengungkapkan rasa sayangku yang sudah lama aku pendam ini pada Elia. Dan
dengan semangat yang membara, aku berjanji bahwa tak lama aku akan menghubungi Elia.
“Ting…”
Ada SMS masuk pada handphoneku. Segera, akupun mengambil handphone itu dan membaca apa isinya. Di layar LCD handphone-ku,
tertulis jelas nama dia. Elia.
Mataku terbelalak kaget.
“Elia? Untuk apa dia SMS aku?”
Akupun membuka isinya dan tertulis jelas
bahwa ia mengirimkan SMS sebuah sapaan, “Kak?”
Akupun membalasnya, “Iya?”
Dan dengan jurus basa-basiku, kami
akhirnya terus asyik berkomunikasi ini dan itu. Saling berbagi cerita dan saling
memberi saran, satu sama lain. Hingga beberapa menit kamu ber-SMS-an, akupun
mengutarakan maksud sebenarnya aku SMS dia.
“Emm… Bagaimana hubungan kamu dengan Ire?
Semoga langgeng terus, ya?”
“Iya, kak…
Terimakasih doanya,”
“Iya, sama-sama. Sayang kamu sama dia?”
“Sayang?
Tentulah, kak. Namanya juga pacar. Kalo aku boleh jujur, aku sebenarnya juga
sayang sama kakak, kok. Hehe.”
“Kamu? Sayang sama aku? Tapi, kamu
lebih sayang sama Ire, kan?”
“Tentu,”
“Emm… Kalo boleh aku jujur, aku
sebenarnya juga sayang sama kamu, El. Tapi… Sayangnya bukan sekedar teman.
Lebih dari teman…”
“Lebih, kak?? Maksudnya??”
“Iya. Udah lama, sih, aku pendam rasa
sayangku ini. Tapi, aku sadar, sayangmu ke aku jauh berbeda sama sayang kamu ke
Ire.”
“Tapi, kak… Apa sih yang buat kakak suka
aku? Aku kan gak cantik, gak pinter, gak perfect bahkan, aku jauh dari wanita
sempurna…”
“Emang ada sih didunia ini, cewek yang
100% sempurna? Gak kan?”
“Aku
bingung mau bicara apa lagi, kak. Yang jelas, aku ingin minta maaf kepada kakak
kalo selama ini aku nyakitin hati kakak, secara enggak sengaja. Aku baru sadar,
selama ini kakak selalu nyuekin aku setelah kakak tau aku pacaran sama dia! Aku
benci itu, kak! Aku ingin kita seperti dulu lagi. Ketawa, seneng, sedih tangis
bareng…Nggak seperti ini! Dimana kakak yang dulu?”
“Aku bukannya nyuekin kamu. Tapi, aku
jaga jarak aja. Aku enggak mau dia cemburu karena aku terlalu over kekamu. Dan satu hal lagi, kamu
enggak perlu minta maaf… Ini semua salahku. Disaat aku jatuh cinta kamu
diam-diam, aku harus terima resikonya yaitu sakit hati dan terluka
perlahan-lahan. Ingat, ini salahku bukan salahmu!”
Begitulah caraku mengungkapkan rasa
sayangku ke Elia. Dan untuk selanjutnya, hubungan kita semakin berangsur
membaik. Aku mulai kembali menyapa, memberi salam dan berbagi cerita dengan
dia.
Beberapa hari kemudian, aku
menceritakan hal ini pada salah satu temanku, Enin. Enin adalah orang yang
dapat aku percaya. Dia selalu saja memiliki hal menarik jika kami berada dalam
satu lingkup. Membuat aku dan teman-temanku tertawa. Itulah Enin, anak sebayaku
yang humoris tapi kritis jika menanggapi masalah.
Namun, reaksi Enin begitu mengecewakan.
Beberapa hari setelahnya, ia seperti menjauhiku, entah mengapa. Dan tepat 4
hari ia menjahuiku, aku menanyakan masalah ini.
“Enin?”
“Iya?”
“Kamu kenapa sih, Nin, akhir-akhir ini
aku lihat kamu seperti menjauh dariku gitu.”
“Siapa
yang jauhin kamu? Enggak kok…”
“Beneran? Trus kenapa tadi aku mau
deketin kamu, kamu malah minggir? Bukan cuma hari itu doang, setiap hari kamu
kayak gitu ke aku. Kenapa? Ada masalah apa sih sebenarnya? Aku bingung sendiri
tau nggak…”
“Nggak
ada masalah apa-apa, kok. Ini masih Enin yang dulu kok, nggak berubah dan
enggak berbeda…”
“Tapi beda dimataku! Jujur, kenapa
kamu jauhin aku?”
“Aku enggak jauhin kamu, Ri!”
“JUJUR!!!”
“Oke
oke! Kamu masih ingat apa yang pernah aku bilang kekamu saat kita pulang
sekolah bersama, beberapa bulan yang lalu?”
“Tentang kamu punya pacar dan putus
dengan pacarmu dan kamu punya pacar kedua?”
“Bukan!
Kamu benar enggak ingat?”
“Emm…”
“Kamu
terlalu gampang melupakan sesuatu yang sulit dilupakan, ya?”
“Eh, tunggu tunggu! Aku… Aku… Oh iya,
yang itukah?”
“Yang
mana? Oh, kamu baru ingat?”
“Emm… Kamu suka aku dan…”
“Dan
apa? Dan kamu tau? AKU MASIH SUKA SAMA KAMU! Dan kamu ingat saat kamu
menceritakan bahwa kamu sayang sama Elia? Dan kamu tau bagaimana sakitnya hatiku
saat itu? Dan dengan bodohnya kamu tertawa di tengah tangisku? Iya???”
“Enin…”
“Cukup!
Sekarang aku tau bagaimana kamu tidak memiliki secarik sayang pun kepadaku!”
“Karena aku sayang kepadamu sebagai
seorang sahabat! Aku rasa itu sudah cukup…”
…
Beberapa minggu berlalu, dan Enin
masih saja marah padaku. Malah, semakin buruk daripada yang lalu. Ia terus
menjauh… Menjauh… Dan menjauh. Hingga, tepat 3 minggu ia menjauhiku, aku ingin
mengakhiri semua ini.
Aku menghampirinya yang tengah merenung
disudut sekolah. Dan seperti biasanya, Enin pergi meninggalkanku. Tapi, dengan
cepat aku menarik lengannya agar ia tak bisa meninggalkanku.
“Enin, tunggu!” Kataku menarik lengan
Enin.
“Huh,” Enin mendesah, “Apa yang kau
mau?”
“Kepastian,”
Enin berbalik dan menatapku tajam.
“Tak perlu, Ri. Aku sudah cukup tau!”
Katanya lalu berbalik arah lagi dan berjalan menjauhiku.
“Enin! Aku tau kamu sakit hati! Tapi,
cobalah mengerti, Nin! Aku juga sedang sakit hati disini! Maaf kalo aku belum
bisa membalas sayangmu padaku,”
Enin seketika itu berhenti berjalan
dengan diam tertunduk. Akupun mendekatinya lalu memegang lembut telapak
tangannya. “Enin, tolong jangan buat aku tertekan dengan semua keadaan ini,”
“Tertekan?”
Pertanyaan itu yang terakhir ia
ucapkan sebelum ia berlari menjauhiku. Aku cuman bisa membisu tanpa
berkata-kata lagi. Aku tak tau cara apalagi yang harus aku lakukan demi membuat
dia seperti dulu lagi padaku. Jujur.
14 hari berlalu. Dan, tepat seminggu
sebelum aku berulang tahun, Enin akhirnya memilih untuk mengakhiri semua
pertentangan ini. Dia mendekatiku yang tengah merenung disudut sekolah.
“Emm… Hai, Ari!” sapanya dengan
ekspresi yang memaksakan senyum.
“Oh, hai, Enin.” Aku membalas senyum
tipis itu.
Enin membalikkan posisinya kedepan.
Membiarkan aku dan Enin berdiri berdampingan. Yang dengan kata lain, tak saling
pandang. Jujur, waktu itu aku belum tau jika Enin akan mengakhiri pertentangan
antara kita selama ini. Karena, setelah ia menyapaku, ia diam membisu. Tanpa
menatapku pula. Bingung, bukan?
“Bagaimana kabarmu, Nin?”
Enin malah tertawa. Tapi, bukan
tertawa terbahak-bahak. Hanya tertawa yang ditahan –aku tau itu. “Kau ini,
seperti tidak pernah bertemu aku saja.”
Aku tersenyum kikuk. Tak tau harus
berbuat apalagi. Aku dijebak oleh pertanyaan tololku sendiri tadi. Hufft.
“Tampaknya, kau baik-baik saja.” Kataku sok cool.
Enin tersenyum. “Aku ini… Seperti
kekanak-kanakan, ya?”
Aku mengalihkan pandangan ke Enin.
“Maksudmu?”
Enin juga mengalihkan pandang
kearahku. Ia menatap lekat-lekat kedua mataku. “Aku… Bingung, Ri, gimana
bilangnya… Yang jelas_”
Aku mendekatinya. Lalu, kuraih lembut
telapak tangannya. “Nin… Aku tau ini gila. Tapi… Aku sayang kamu…”
Enin menarik telapak tangannya yang
tadi kuraih. Matanya terbelalak kaget tak percaya. Ia terlalu syock mendengar ini. Apa, aku yang
terlalu cepat mengungkapkan perasaanku yang datang tiba-tiba ini?
“Aku rasa, ternyata aku juga
menyayangimu. Rasa ini muncul tiba-tiba dan sempat tak kumengerti. Ini… terlalu
cepat, ya?” lanjutku.
Enin tertunduk. Ia kembali memutar
posisinya sehingga kami tak dapat saling pandang.
“Aku…Tak bisa, Ri!” jawabnya singkat.
Aku kaget. Hatiku remuk. Kembali aku
merasakan sakit hati untuk yang kedua kalinya. Tapi, tunggu, Enin menolakku?
Bukankah ia juga menyayangiku? Apa… Aku terlambat mengungkapkan ini semua? Yang
dalam arti lain, Enin sudah menemukan penggantiku di hatinya? Secepat itukah???
“Aku…” Ia berhenti sejenak, lalu memandangiku
lagi dengan mata yang berkaca-kaca, “Menyukai orang lain!” lanjutnya.
Haha! Dugaanku benar sekali! Tak meleset
sedikitpun!
“Kau terlambat, Ri! Dia lebih
menyayangiku daripada rasa sayangmu! Dan, lagipula, aku datang kesini untuk
mengakhiri masalah kita.” Dia menepuk pundakku. “Maafin aku, ya? Ri?”
Kulepaskan telapak tangannya dari
pundakku. Dan dengan cepat, dengan membawa setumpuk kepingan hati yang telah
pecah, aku meninggalkan Enin. Tanpa menerima maaf darinya.
Karena… hatiku terlalu hancur!
…
Malam harinya, ditemani beribu bintang
yang menghiasi langit malam, aku melamun di teras rumah. Dengan terus
membayangkan perjalanan cintaku yang berliku-liku dan terlalu sakit ini.
“Aku bodoh! Aku bodoh menyia-nyiakan
semuanya! Tuhan, tolong kembalikan aku ke masa lampau. Disaat, aku belum
terlambat menyia-nyiakan cinta mereka…” pintaku memandangi langit malam.
“Ting…”
Handphone-ku
berbunyi. Ada SMS masuk dari seseorang. Itu SMS dari… Ire. Dengan cepat, kubuka
apa isinya.
“Hei!
Maksud lo apaan, he? Kenapa lo merebut pacar gue, dasar laki-laki bodoh!” pesan
Ire yang dia kirimkan.
Apa yang dia maksudkan? “Tunggu,
tunggu, kamu bicara apa, sih, Re?”
“Alaaah…
Jangan sok enggak tau dan sok bodoh, deh! Lo tanya-tanya apa sama dia? Dan ada
hubungan sedekat apa lo sama dia? He?”
“Elia, maksudmu?”
“Menurut
lo??!”
“Ya, gue tanya biasa aja. Gak yang
berlebihan, kok.”
“Trus
kenapa tadi Elia bilang kamu tanya aku sayang sama dia apa enggak? Sok
perhatian banget sih lo, dasar bajingan!”
“Hei, sabar, dong! Lo belum liat
penjelasan gue! Elia enggak sebodoh yang lo kira, ya? Dia sayang sama lo! Gue
cuman ngetes aja seberapa besar sayangnya pada lo! Dan sayangnya ternyata lebih
dari yang kukira,”
“Kamu
suka kan sama Elia?! Elia bilang sendiri tau nggak!?”
“Lo percaya gitu aja? Jangan sensitif
gitu sama pacar, kalo lo mau hubungan kalian tetep harmonis dan enggak cepet
ancur!”
“Terserah!!!”
“Sorry,
kalo aku buat lo cemburu! Tapi, gue enggak pernah SMS dia kalo ada hal sangat penting
doang! Inget itu!”
“Y.”
Kubanting handphone-ku hingga baterai dan badan handphone terpisah. “Arrgghhhh!!! Banyak banget sih, masalah gue!
Mati aja gimana? Udah sakit malah ditambah sakit lagi!!! Pffft.”
…
Hari berikutnya, Ire marah kepadaku.
Ia memandangku jijik saat aku berlalu lalang didepannya. Sepertinya, ia memang
tipikal orang yang terlalu sensitif sama pacar. Kecemburuannya melampaui batas
normal.
Pulang sekolah, aku melihat Elia
tengah menangis histeris disudut kantin. Niar duduk disampingnya dan mencoba
menenangkannya. Karena penasaran, aku mendekatinya.
“Dia kenapa?” tanyaku pada Niar.
Dengan sedikit berbisik, Niar berkata,
“Diputusin pacar!”
Sontak, aku kaget. Ire mutusin Elia
cuman gara-gara masalah sepele kayak gitu? Bodoh banget sih, Ire!
“Eh, lo mending nyari minum dulu buat Elia.
Biar gue coba nenangin dia,” pintahku pada Niar. Dan dengan cepat, ia menuruti
perkataanku.
Kini tinggal aku dan Elia. Akupun
duduk disamping Elia. Dan dengan cepat, aku membiarkan ia menangis dalam
pelukanku. Kuusap rambutnya agar ia merasa lebih hangat.
“El, udah deh, udah… Lo jangan
nangisin dia terus. Laki-laki yang enggak se-banjingan dia kan ada. Udah, ya?
El…” kataku menenangkan dia. Namun, itu tak merubah apa-apa. Ia tetap menangis.
Di sudut kantin, aku melihat Enin
tengah mengintip aku dan Elia. Dia sempat kaget juga. Lalu, karena dia merasa
aku telah mengetahui keberadaan dia, dia berjalan pasrah sambil tertunduk.
Sempat kaget, memang… Tapi, melihat
kondisi Elia saat ini, konsentrasiku cepat kembali pada Elia.
“Ini minumnya, kak,” Niar yang tadi,
datang kembali dengan membawa segelas teh hangat. Ia menaruh teh itu pada meja
didepan kami.
“Oke,” Kuambil teh hangat itu. Lalu,
dengan cepat aku tawarkan pada Elia. Namun, Elia menggelengkan kepala tanda tak
mau. Ia terus saja menangis.
“Eh, lo bisa bantu gue lagi, enggak?
Tolong undang orang yang udah nyakitin dia, dong! Masalah ini enggak bakal
selesai kalo gini caranya.” Suruhku lagi. Niar pun mau melaksanakan tugas
dadakan ini.
Kuusap halus rambut Elia lagi. “El, Ire
kenapa, sih? Ceritain, dong! Biar bisa lebih tenang,” Aku mencoba mencari cara
agar ia dapat tenang lagi. Setidaknya tak menangis seperti ini. Hatiku terlalu rapuh
melihat hal ini.
“El, tatap gue! Tatap mata gue!!!”
Kataku memegang pipinya sambil berusaha agar ia dapat menatap mataku.
Dengan mata yang penuh air mata, Elia
dengan paksa menatapku.
“Li… Gue tau… Ini semua salah gue, kan?”
“Enggak, kak! Ini bukan salah kakak!!!”
Elia berteriak histeris.
“Elia, tenang, Li… Tenang…”
“Enggak bisa, kak… Enggak bisa…” Elia
kembali menangis dalam pelukanku. Aku terus berusaha memenangkannya.
Kucium kening Elia dengan lembut.
Setidaknya, cuman itu saja yang bisa membuktikan bahwa aku sayang sama Elia.
Dan setidaknya, ia bisa lebih tenang.
…
Ire P.O.V
“Udah, kan? Gimana sekarang? Dia masih
sayang sama aku?” Aku berjalan menjauhi Niar yang masih bengong melihat
pemandangan menjijikan tadi.
Ari mencium Elia? Itu tandanya ia tak
sayang sama Elia? Laki-laki bodoh!
Niar sempat memanggilku dan mencoba mengajakku
kesana lagi.
“Buat apa, Ni? Apa aku perlu liat mereka
yang lebih dari itu? Ciuman bibir, iya!?” bentakku pada Niar yang gemetar
ketakutan.
“Lo laki-laki yang lebih dari sampah si pengecut,
tau nggak, Re!”
Niar berlari menjahuiku setelah ia mengatakan
hal yang tak kumengerti itu. Mataku menerawang sekitar. Mencari hal yang bisa
kubuat mainan dan menenangkanku. Dan… Eits! Mataku menangkap bayangan seorang
gadis yang tengah menangis histeris. Itu… Enin. Ya, Enin! Dengan cepat,
kuhampiri dia dengan wajah yang simpati.
“Nin? Kamu kenapa Nin?” kataku duduk
disampingnya.
Tiba-tiba saja, Enin
memeluk erat tubuhku tanpa menjawab pertanyaanku. Hatiku bergetar atas semua
hal ini. Bahkan, Elia tak pernah
sekalipun memelukku, batinku.
“Nin…” Aku mengusap halus rambutnya.
Mencoba menenangkannya. Dan setelah beberapa detik aku mengusap rambutnya, Enin
menatap mataku lekat-lekat.
“Ir… Ire?” katanya kaget dengan posisi
kami yang masih berpelukan.
Aku tersenyum dan mengangguk pelan.
Dengat tergesa-gesa, ia melepas pelukan kami, membenarkan posisinya, dan
menghapus air matanya. Aku sempat geli dengan tingkahnya.
“Haha…Kamu kenapa kok nangis?” tanyaku.
“Enggak kok… Siapa yang nangis?”
“Iya deh iya, kamu enggak nangis. Eh,
tadi pelukanmu erat banget, lho.”
Enin malah memukul pundakku. Wajahnya
merah padam. Kali ini, aku tak bisa menahan geli. Aku pun tertawa
terbaha-bahak. Dan setelah itu, kami terus bercanda, berbagi cerita dan saran
satu sama lain.
…
Back to Ari P.O.V
Elia sedikit lebih tenang. Ia menatap
mataku lekat-lekat saat aku telah mencium keningnya. Matanya menatap manja dan
tak percaya. Lalu, dengan cepat, ia memeluk erat tubuhku. Dan berkata, “Makasih
kak,”
Hatiku bergetar. Aku benar-benar
merasakan momen indah ini. Momen yang tak ada duanya. Momen yang istimewa.
Akupun mengusap rambutnya lembut. Membiarkan kami benar-benar merasakan
kehangatan. Hingga, dia melepas pelukan ini dan kami saling berhadapan.
Matanya benar-benar sendu karena tangis.
Air mata juga masih menghiasi pelupuk dan sekitar pipinya. Karenanya, kuhapus
air mata yang menempel dipipinya itu dengan jari-jariku. Ia tersenyum, akupun
juga.
“Makasih ya, kak? Sudah ada saat aku sangat memerlukan belaian kasih sayang. Ini lebih
dari indah, kak.” katanya manja.
“Kamu tau kan, kalo aku menyayangimu?
Bukankah wajar jika hal ini kulakukan?” jawabku singkat.
Ia malah tersenyum.
“Nah, gitu dong. Cantiknya kan keliatan
kalo senyum gitu.” Kataku.
…
Beberapa hari setelah hari mengerikan
itu terjadi, aku dan Elia menjadi lebih akrab dari sebelumnya. Kami selalu
menghabiskan waktu bersama. Namun, ia masih saja belum bisa melupakan Ire.
Jujur, aku ingin dia menggantikan posisi Ire yang terus saja hidup dihatinya,
denganku.
Kini, hari ulang tahunku tiba. Akupun
merayakan memorial ini dirumahku. Seluruh teman sekelasku dan orang-orang
tertentu kuajak untuk datang kepesta ini agar lebih meriah.
Setelah hal-hal yang direncanakan usai,
waktu bersuka ria pun dimulai. Seluruh orang yang ada dipesta ini terserah mau
melakukan apa saja diwaktu lenggang ini. Berdansa, bercerita, pacaran, sesuka
hati mereka. Jika aku, lebih memilih untuk menyendiri ditemani beribu bintang
dan Elia.
Saat kami sedang bersuka ria, mataku
menangkap Enin dan Ire yang terus saja bersama. Bergandengan tangan pula. Aku
sempat berpikir jika mereka berpacaran.
Tapi, masak Enin
sejahat itu sama Elia? Elia kan bestfriend-nya dia. Setahuku, Enin tak sejahat
itu hingga menusuk temannya sendiri dari belakang, batinku.
Dan keraguanku terjawab sudah. Samar-samar,
aku mendengar Ire berkata kepada temannya, “Hei! Kenalin nih pacar baru gue, Eninda,”
Apa!? Sekarang ini apa Enin yang jahat
atau dia memang sudah terkena virus ketampanan Ire sampe nusuk teman sendiri dari
belakang?? Dan, Ire yang merebut Enin dariku? Aku sungguh tak mengerti jalan
pikir Enin.
“Kak?? Kakak!!!”
“Ah! Iya?” Aku tersadar dari lamuan
berkat dorongan Elia.
“Kakak daritadi ngeliatin apa, sih?”
Elia mengalihkan pandang kearah yang aku
lihat tadi. Tepatnya, kearah Ire dan Enin berpacaran. Dan dengan cepat, dengan
mata yang tak percaya, ia kembali menatapku.
“Mereka… mereka…”
“Iya… Mereka pacaran.” Jawabku, “Maaf,
El. Untuk kali ini, aku nggak bisa buat apa-apa lagi,”
Ia menangis sambil menundukkan muka. Aku
tau hatinya pasti remuk berkeping-keping. Sesekali ia mengusap matanya yang
terus keluar air mata.
“Elia?” Aku memegang telapak tangannya.
Sambil sesekali membuka poninya yang menutupi kedua matanya.
Ia menatapku tersenyum dengan pipinya
yang masih mengalir air mata. “Aku enggak papa, kok, kak. Tenang aja,”
“Tenang-tenang, gimana!” Aku menghapus
air mata yang menempel dipipinya itu dengan jari-jariku. Setelah semuanya telah
hilang, kupegang lagi kedua telapak tengannya.
Aku mengambil napas persiapan, “Em…
Elia?” Aku berhenti sejenak, “Kamu tau kan, aku menyanyangimu? Dan kurasa rasa
sayangku kini menjadi lebih besar lagi.” Aku berhenti lagi mengambil napas,
“Aku mau mengisi kekosongan hatimu dengan adanya diriku. Aku ingin sepenuhnya
melindungimu. Aku nggak mau kamu terus-terusan disakiti begini. Jujur, sekarang
aku mau lebih care padamu… Kamu… Mau
nggak jadi pacarku?” kalimat utama pun berhasil kulontarkan dengan lancar.
Elia terdiam tak percaya. Matanya
berkaca-kaca. Sepertinya ia hampir menangis. Ia malah melepas telapak tangannya
dari genggamanku. Aku menjadi tak mengerti.
“Kak…” Ia berhenti sejenak. Dari
matanya, keluar air mata. “Bukannya aku tak mau. Tapi…” Ia kembali menggenggam
telapak tanganku. “Hatiku sudah terisi oleh cinta Pradi. Kami… Sudah
berpacaran, kak…”
Aku menarik telapak tanganku dari genggamannya.
Lalu, kutundukkan muka. Untuk sekarang, aku tak bisa menahan air mata. Hatiku
yang telah kususun lagi, yang telah menjadi hati yang baru, kini kembali
diremuk oleh orang yang sama. Bahkan, lebih remuk dari sebelumnya. Aku terus
tertunduk, dan berkata, “Aku… Terlambat lagi, ya?”
(: TAMAT :)
Langganan:
Postingan (Atom)